MAKASSAR – Para penulis dan sineas kawakan Indonesia duduk bersama membahas sisi gelap di balik adaptasi buku ke film di gedung Chapel, Benteng Fort Rotterdam, venue Makassar International Writers Festival 2024 (MIWF), pada Sabtu (25/5/2024) siang. Mereka adalah Riri Riza, Ratih Kumala, Prima Rusdi, dan Yandy Laurens.
Sekitar pukul 10.15 Wita, dipandu oleh sutradara kawakan Riri Riza selaku moderator membuka ruang diskusi IP Talks: Dari Buku ke Film. Intellectual Property (IP) atau kekayaan intelektual itu bagaikan nadi bagi setiap pelaku industri kreatif.
Adaptasi dari buku ke film bukanlah hal baru dalam industri perfilman Indonesia. Ketika karya sastra berbentuk buku kemudian diadopsi menjadi film. Namun pada akhirnya banyak penulis yang harus menelan kekecewaan setelah karyanya diadaptasi menjadi sesuatu yang jauh berbeda
“Rasanya seperti buku yang dirobek-robek kemudian ditata kembali,” ungkap Ratih.
Seperti itulah perasaan para penulis yang bukunya diadaptasi menjadi sebuah film. Bahkan ada yang filmnya berbeda 80 hingga 90 persen dari karya asli.
Ratih tidak pernah menargetkan novel Gadis Kretek akan menjadi film atau serial. Ia hanya ingin novelnya diterjemahkan ke dalam bahasa asing.
Maka ketika ada produser datang dan menawarkan IP, Ratih tak ingin hal yang dirasakan oleh temannya sesama penulis juga terjadi padanya. Maka ia memilih untuk melibatkan diri dalam proses pembuatan film Gadis Kretek.
“Dari awal aku udah ngomong, kalau aku mau terlibat dalam pembuatan film. Aku nggak mau lepas tangan,” ucap Ratih.
Sering kali novel-novel yang diadaptasi menjadi film pasti akan ada adegan yang dipotong ataupun ditambah. Untuk itu penulis harus tahu kepada siapa karya mereka akan dilanjutkan.
Penulis Gadis Kretek itu tidak ingin karyanya jatuh ke tangan orang yang tidak tepat. Ia tidak mau orang yang melanjutan karyanya hanyalah orang-orang yang tahu karya terkenalnya saja, tapi tidak pernah tahu buku apa yang pernah dia tulis sebelumnya.
“Aku ingin orang yang datang mengambil karyaku adalah orang yang cinta karyaku sebelumnya,” tutur penulis kelahiran 1980 itu.
Kekecewaan penulis terhadap karyanya yang berubah total membuka ingatan bagi Riri. Ia juga menceritakan pengalaman salah satu penulis yang novelnya diadaptasi. Tapi, kemudian si penulis meminta agar namanya dihapus karena film yang dihasilkan sangat berbeda dengan apa yang ditulisnya.
Yandy Laurens, seorang sutradara dan penulis skenario, mengatakan bila ada produser yang menawarkan untuk IP jangan langsung tanda tangan kontrak. Tetapi pikirkan dulu siapa orang yang akan mengambil dan melanjutkan karya itu untuk ditulis kembali.
Lebih lanjut, Yandy menganalogikan perjalanan karya sastra menjadi film sebagai perjalanan menuju pernikahan. Karya sastra adalah seorang anak yang dari kecil dirawat sendiri. Lalu ketika dia besar jangan sampai menikah dengan orang yang tidak tepat, atau sutradara dengan penggarapan visual yang kurang tepat.
Penulis : Friskila Ningrum Yusuf