Perlawanan dari Mereka yang Terluka dan Terpinggirkan

“Di mana ada perbedaan, pasti ada pembedaan, dan dimana ada pembedaan pasti ada diskriminasi dan disitu ada pahlawan-pahlawan yang memperjuangkan.”

MAKASSAR – Stigma berkeluarga bagi masyarakat awam adalah ibu, ayah, dan anak. Hal itu terus digagas hingga termaktub hingga ke dalam program pendidikan yang selama ini didefinisikan pemerintah sebagai keluarga yang lengkap. Ini menjadi bahasan utama dalam program bertajuk Mengasihi dan Mengasuh dari Tepi sebagai bagian dari rangkaian acara Makassar International Writers Festival (MIWF) 2024 yang berlangsung di Aula Museum I Lagaligo Benteng Fort Rotterdam, Jumat (24/5/2024) siang.

Ide itu memberikan luka hingga berujung penolakan bagi beberapa orang, juga menghadirkan kritik terhadap rumah tangga yang dianggap tak normal karena tidak mengaminkan gagasan itu. Perasaan ini adalah nyata.

Sistem yang telah disusun sedemikian rupa itu mendukung bagaimana orang-orang harus sesuai gender. “Perempuan harus begini, laki-laki harus begitu,” kata Gege, yang merupakan perwakilan dari Komunitas Sehati Makassar.

Bagaimana cara menciptakan orang baik itu? “Tantangan ini dimulai dari rumah,” ujarnya.

“Ketika saya mengatakan kepada orang tua saya bahwa saya berbeda, mereka tidak masalah. Masalahnya berada di saya,” imbuhnya.

Gerakan Kolektif Akibat Gelisah yang Serupa

Semuanya berawal dari kekuatan untuk saling merawat karena kami memiliki masalah yang lebih besar. Air mata. “Saya merasa kita harus melakukan sesuatu,” ucap Gege.

2007, awal mula perlawanan terhadap gelisah yang sepakat untuk berangkat bersama. “Kami memperoleh banyak dukungan yang sebenarnya muncul akibat dari toleransi,” kata dia (lagi).

Mereka yang mengalami diskriminasi akhirnya hadir untuk mendampingi. Fokusnya pada edukasi kampanye, dan pendampingan bagi mereka yang fokus pada kekerasan seksual dan gender.

Tantangan ini tidak hanya dari sendiri. Namun, masuk lagi kepada masyarakat, pemerintah. Kemudian, yang bersuara akhirnya lagi-lagi diserang. Tantangan ini adalah sistem masa lampau yang diskriminatif. Dan ini berasal dari mereka yang memiliki power.

Setelah proses panjang dari upaya diskriminasi dan lain-lain, kini sudah mulai ada penerimaan dari masyarakat. “Pencapaian itu membuat banyak teman-teman komunitas yang bisa beraktivitas di ruang publik,” Yolanda Adam, Perwakas (Persatuan Waria Kabupaten Sikka).

Komunitas menjadi rumah bagi mereka untuk saling menguatkan, merawat, dan menyembuhkan luka. Dari situ, mereka menemukan kekuatan hingga akhirnya berani untuk berkontribusi di lingkungan sosial.

“Saya bertemu dengan keluarga yang tidak saya sangka merupakan berasal dari orang asing.”

Penulis : Muhammad Aswar & Nur Fitriani Ramadhani

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top