MAKASSAR – Berangkat seperti gelas kosong, saya berlalu ke Gedung J-1 Benteng Rotterdam, tepatnya di samping Taman Ria MIWF. Saat itu hari Kamis (23/4/2024) pukul 10.00 pagi, belum terlalu banyak pengunjung di Rotterdam pun di instalasi pameran Pewakas dan komunitas KAHE, sebuah komunitas berbasis gerakan gender akar rumput di Maumere, Flores Tengah.
Saya duduk di tengah instalasi pameran Kahe, seorang volunteer mengarahkan saya untuk bersenang-senang dengan pernak pernik yang tersedia di atas meja, saya membuat kolase foto.
Ada banyak foto monokrom di atas meja, saya bersenang-senang dengan foto-foto itu, mengunting, mengelem, dan merobek-robek beberapa bagiannya agar estetik. Belakangan saya ketahui foto itu adalah arsip dokumen yang digarap teman-teman Pewakas dan Komunitas KAHE. Tajuknya adalah untuk membayangkan kembali konsep “keluarga” para waria di Maumere, membantu mereka mengekplorasi identitas dan ekspresi mereka.
Suara tv menggema disekeliling, mengisi sudut-sudut instalasi, berita-berita dan cerita-cerita tentang waria di Maumere seperti sebuah dongeng yang menemani saya membuat kolase buku.
Berulang kali saya menengok ke TV, memastikan apa yang mereka bicarakan di TV, tentang begitu besar sumbangsih Waria di Maumere dan banyak hal baik yang mereka lakukan di ruang-ruang tak terlihat, bahkan jika ruangan itu terlihat, hal baik yang mereka lakukan tidak pernah tebal ke permukaan.
Sepanjang menyusun kolase, kepala saya penuh pertanyan dan__penerimaan, bahwa di timur Indonesia, ada ruang yang begitu inklusif atas perbedaan identitas gender, ada musim semi bagi Waria di Maumere, bahwa memakai lipstik ke Gereja bagi waria bukanlah dosa.
Karlin, Peneliti asal Maumere, dia salah satu yang berbicara di TV. Dia juga yang sedang menemani saya membuat kolase, kami duduk bersampingan. Karlin tidak banyak bicara, ia dengan tenang menulis sepucuk surat. Surat itu jadi pengisi salah satu instalasi pameran, “setelah dua puluh lima tahun Perwakas…”.
Kami berkenalan, dan saya masih penasaran dengan Perwakas dan KAHE. Tidak cukup rasanya, meski siaran TV tentang mereka terus terulang-ulang satu jam menemani saya berkolase.
Karlin membolehkan saya untuk mengetahui lebih banyak tentang mereka, ia mengajak ke pojok taman ria, ia juga mengajak temannya, Silvi, seorang transpuan.
Silvi berpenampilan androgini, suaranya begitu terkenang. Suara Silvi familiar, mungkin karena TV instalasi. Silvi bercerita banyak tentang angin segar bagi Waria di Maumere, bersama Perwakas, ia sedang menyusun draft “Kota Ramah HAM” untuk Maumere.
“Sudah di tahap uji publik, tinggal tunggu pergantian bupati dan pelantikan anggota dewan,” ucap Silvi, Jumat (24/5/2024).
Upaya Silvi dan kawan-kawan bukanlah mudah, ia menganggap harus ada payung hukum, sebelum ada ancaman-ancaman bagi mereka.
Meskipun semi dan sengarnya angin Maumere bagi Waria, tidak menutup kenyataan bahwa stigma negatif masih sangat tebal. Aktifitas untuk menyikapi kenyataan akan perbedaan masih sangat jarang di pendidikan formal maupun pemerintahan.
Saya merinding mengetahui keberdayaaan dibalik semi dan segatnya pemberitaan terhadap mereka, begitupun penerimaan masyarakat konservatif yang mulai inklusif terhadap keberadaan mereka.
Mereka tidak hanya membuka salon, Wedding Organizer, atau membuat festival bola voli terbesar Indonesia timur, mereka sangat dekat jika merangkul kawan yang lemah, mereka pernah menginisiasi dapur umum korban bencana alam di Flores, menjadi kader Posyandu, membuka sekolah bagi kanak-kanak, hingga melakukan pendampingan bagi penyintas AIDS.
“Peran-peran baik yang mereka lakukan tidak banyak yang tahu, orang hanya tahu diskriminasi dan stigma, hal-hal baik yang mereka kerjakan tidak dibicarakan”, ujar Karlin.
“Mereka mengangkat status sosial mereka sendiri dan orang tua atau sodara-sodara yang dulu mengusir mereka, mereka telah berdaya secara ekonomi,” tambahnya.
Penulis : Kartika Nurlan Gene