MAKASSAR – Momentum Gerakan Reformasi selalu membekas, Indonesia telah mengalami banyak perubahan pasca tragedi itu, Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023 menghadirkan diskusi Refleksi 25 Tahun Reformasi menggunakan pendekatan “dreams, discovery and identity”, pada Jumat (9/7/23)
Diskusi ini tidak terlepas daripada melontar balik perjalanan reformasi dengan mencoba melacak secara kontekstual yang terjadi hari ini. Sejauh mana cita-cita reformasi terealisasi, apa yang teridentifikasi hari-hari ini sebagai dampak dari “anak kandung” Orde Baru, serta bagaimana penulis, jurnalis dan seniman merespons hal ini setelah 25 tahun reformasi.
Kegiatan yang bertempat di Aula Chapel tersebut menghadirkan Erica Hestu Wahyuni, M. Nawir, Evi Mariani, Fatris MF, dan Sabda Armandio serta dipandu oleh Intan
Paramaditha.
Pimpinan Project Multatuli Evi sapaan akrabnya mengatakan, merefleksikan 25 tahun reformasi adalah mengingat fakta sejarah yang menyakitkan. Ia menyatakan, kaum minoritas etnis thionghoa dan profesi jurnalis menjadi yang paling terpengaruh pada era orde baru dan pasca reformasi.
“Banyak anak-anak Tionghoa yang lahir
diluar nikah sebab tidak ada pengakuan kewarganegaraan pada saat itu, salah satu diantaranya adalah saya, disisi lain tumbuh sebagai jurnalis turut menyaksikan pembungkaman dan pembredelan dimana-mana.” Kata Evi.
Pasca reformasi seakan-akan membawa angin segar, Evi mengungkapkan etnis Tionghoa mulai mendapat pengakuannya sebagai warga negara, disisi lain jurnalis sudah bisa merasakan kebebasan pers yang lebih terbuka, namun masih banyak yang mesti tetap dikawal.
“Transisi kepemimpinan pasca reformasi menghasilkan penghapusan diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Kalau jurnalis dulu bredel sekarang serangannya lebih beragam seperti serangan digital, doksing dan serangan terhadap jurnalis perempuan.” Ungkapnya.
Beda cerita dengan Fatris MF, Penulis perjalanan yang kerap menggambarkan Indonesia dari pinggiran-pinggiran kota atau pelosok negeri.
“Saya melihat Indonesia jauh dari perkotaan, jauh sebelum reformasi anak-anak di Kalimantan – Sumatera hidup tentram, berenang di sungai dan hidup berdampingan dengan alam. Hari ini berubah, tidak ada lagi yang berenang sebab akan merasakan gatal akibat pencemaran limbah sawit.” Pungkas Fatris.
Ia mengaku miris melihat perkembangan industri hari ini yang banyak merusak lingkungan dan merebut ruang hidup masyarakat, katanya banyak lokasi yang ia kunjungi jarang tersorot sebab ditutupi oleh isu-isu perkotaan.
“Permasalahan di Kodingareng, Asmat, Kalimantan, Sumatera, NTT dll adalah Isu-isu akar rumput yang sangat sulit menembus pemberitaan nasional, apakah Indonesia hanya sekadar Jakarta, Surabaya? Apakah hanya Jakarta yang penting?” Ujar Fatris.
Tak hanya jurnalis, Seni juga merasakan perubahan-perubahan yang bermakna terhadap transisi sistem kepemimpinan.
Erica Hestu Wahyuni dan Sabda Armandio turut berbagi beberapa hal.
Pria yang kerap disapa dio, menuturkan bahwa cerita reformasi hari ini seperti dongeng herois belaka yang pelakunya adalah pedongeng yang buruk di masyarakat sebab gagal membawa gagasan reformasi.
“Nilai reformasi tidak di estafetkan kepada generasi sehingga menjadi kebingungan yang nyata soal perjuangan itu, saya tidak melihat komitmen serius dari aktor reformasi, saya menjadikan seni untuk berimajinasi kedepan, seni juga harus berpolitik dalam merespond keadaan sosial. Namun hal yang sangat sulit hari ini membayangkan akhir dari kapitalisme dibandingkan membayangkan akhir dunia,” Tutur Dio.
Hal serupa dibenarkan oleh pelukis ternama Erica Hestu Wahyuni, Menurutnya Seni akan selalu menjadi ekspresi dan representasi kehidupan sosial masyarakat.
“Seni kapanpun dan dimanapun akan selalu menyuarakan hati nurani rakyat secara bebas dan terbuka” kata Erica.
Diujung sesi, M Nawir menyampaikan bahwa gemerlap kegelapan orde baru telah berakhir, butuh solidaritas untuk merajut tujuan reformasi, ia meyakini bahwa MIWF memiliki spirit itu dan menjadi berkah reformasi yang menyatukan dan menguatkan sejak 2011.
Muhammad Amin. R